Selasa, 30 Juni 2009

Tuan-Nyonya Capres, Dengarlah Rintihan Dhea

Zanikhan Sadeli has posted a new blog entry.


Manage alerts settings

Blog EntryTuan-Nyonya Capres, Dengarlah Rintihan DheaPosted by Zanikhan on Jul 1, '09 12:43 PM for everyone


Moh Samsul Arifin



Dhea begitu ia biasa dipanggil. Usianya baru
sepuluh tahun. Ia terpaksa melupakan ikut EHB [Evaluasi Hasil Belajar], tengah
Juni lalu lantaran tiba-tiba jatuh sakit. Murid SD Aren Jaya 14 Bekasi ini
sudah tiga kali pindah rumah sakit. Alih-alih sembuh, penyakit yang dideritanya
baru dipastikan setiba di RS yang bersebelahan dengan kampus kedokteran UI
Salemba, Jakarta.



Lebih dari dua pekan ia terbaring (kadang tak sadarkan
diri, kadang sadar) di ruang gawat darurat (ICU) anak RSCM Jakarta. Dokter yang
merawatnya menyebut ia positif mengidap Sindrom Guillain Barre atau
SGB. Ini adalah sebentuk kelainan sistem saraf akut yang mengenai radiks
spinalis dan saraf perifer, dan kadang saraf kranialis. Mereka yang mengidap
SGB bisa dikenali dari sejumlah gejala, mulai dari kelumpuhan, kerusakan saraf
dan jika parah bisa menimbulkan koma.



Ini sindrom langka. Bukan saja di Indonesia,
tapi di dunia dengan fasilitas kesehatan berkilau mutiara seperti Amerika
Serikat. Pernah tahun 1976 silam, sindrom ini mencuri perhatian. Pemerintah
AS
menggelar program imunisasi massal
terhadap influenza. Hasilnya, dari 46 juta orang yang diimunisasi, ternyata
4.000 orang mengalami sindrom ini. Di Indonesia, belum diketahui berapa jumlah
penderita SGB. Yang jelas, SGB menyerang semua usia [3 bulan hingga 95 tahun]
dengan insidensi/kejadian lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki [2:1].



Pada penderitanya yang lumpuh, serangan biasa berawal dari bawah—mengenai
kaki (umumnya kedua tungkai), dan terus merembet keatas hingga menyebabkan
gangguan pernapasan dan penurunan kesadaran. Serangan lebih lanjut membuat
tungkai kedua kaki dan kedua tangan mengalami lumpuh layuh. Kejamnya SGB bisa
menyerang saraf otot, juga indera peraba. Sang penderita bisa mengalami baal
atau mati rasa.



Dhea bukan Prita Mulyasari yang dapat menulis surat
elektronik berisi keluhan atas layanan kesehatan sebuah RS di Tangerang. Email
Prita membuatnya sempat mendekam di hotel prodeo selama tiga pekan. Beruntung
kasus Prita tercium media massa dan
juga capres yang hendak memperebutkan lebih dari 176 juta pemilih pada Pilpres
nanti. Alhasil ia menghirup udara bebas. Keluar dari penjara dan kasusnya
[delik pencemaran nama baik] tidak dilanjutkan. Tuah kerja sama manis media dan
kandidat presiden.



Dhea atau lengkapnya Dhea Rizky Yulianingsih tak
seberuntung Prita. Jangankan berbagi cerita—seperti pernah dilakukan anak
korban tsunami Aceh dengan "kawan penanya" di Amerika Serikat—hidupnya
tergantung alat bantu pernapasan [ventilator]. Ia berjuang di antara hidup dan
mati. Hanya doa sang bunda, ayah, kakek, nenek, kerabat serta kawan-kawannya
menyertai perjuangan Dhea.



Saya—yang kebetulan kenal dengan bundanya—dua kali
menyaksikan Dhea. Ia tergolek. Tak ada tawa lagi. Selang ventilator masih
terlilit di hitungnya. Ia tertidur. Napasnya terengah-engah. Bundanya
bercerita, pernah dokter yang merawatnya coba melepas ventilator itu. Tapi Dhea
belum kuat. Lambungnya terinfeksi. Darah keluar dari mulut mungilnya. Terpaksa
dokter memasang alat itu kembali hingga tulisan ini dibuat. Sang dokter berujar
mungkin penyembuhan Dhea bisa makan waktu dua bulan.



Sang bunda bercerita lagi. Suatu siang, ada reporter sebuah
stasiun televisi meliput Dhea. Buat stasiun itu, penyakit yang didera Dhea
adalah news value. Sebentuk kepedulian yang berhulu dari rasa kasih.
Lewat tayangan dalam program beritanya, stasiun ini berharap dapat mengetuk
solidaritas khalayak di tanah air.



Ya… biaya perawatan untuk Dhea memang tidak sedikit—tak
cukup jika hanya ditebus dari pendapatan orangtuanya. Untuk menebus obat saja,
mereka harus merogoh Rp600 ribu per hari. Ini baru dari satu jenis obat.
Sementara yang dibutuhkan Dhea lebih dari itu. Untuk kembali ceria seperti sedia
kala, puluhan juta rupiah harus dikumpulkan orangtua Dhea. Seluruh ikhtiar,
termasuk menyambangi sejumlah perusahaan telah dilakukan orangtua Dhea. Apa
daya rupiah di saku ortu Dhea tidak cukup. Mereka berharap uluran tangan dari
dermawan atau mungkin dari tuan dan puan calon presiden sekalian.



RS yang merawat Dhea hanya lima
menit dari Jalan Diponegoro atau 15 menit dari Jalan Teuku Umar Jakarta. Di dua
kawasan elite Menteng ini, kandidat presiden [JK, Megawati] dan tim sukses
SBY-Boediono memancang strategi dan taktik untuk bisa merebut simpati publik
dan menakhodai Indonesia.
Seandainya rintihan Dhea mengusik hati nurani. Dhea dan ortu menunggunya di
sini: 0857-2041052.



 
http://zanikhan.multiply.com/profile








Add a Comment
   




Copyright 2009 Multiply Inc, 6001 Park of Commerce, Boca Raton, FL 33487, USA
Stop e-mails, view our privacy policy, or report abuse: click here

Tidak ada komentar:

Posting Komentar