Posted by: "Farizal FoSSEI"
farizal@fossei.org
Sun Jun 28, 2009 4:54 am (PDT)
Tim Sukses SBY Berboedi berkali-kali menyatakan bahwa Boediono itu bukan
ekonom neoliberal dengan alasan dia membolehkan perbankan syariah. Benarkah,
bila welcome terhadap perbankan syariah bisa disebut ekonom yang tidak
neolib? Umat jangan mau dibohongi. Untuk itulah wartawan mediaumat.com Joko
Prasetyo mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail
Yusanto, Selasa (23/6) sore di Jakarta. Berikut petikannya.
Apa benar UU perbankan syariah atau kebijakan yang terkait dengan bank
syariah itu merupakan peran besar Boediono?
Kalaulah umpamanya benar bahwa Boediono berperan besar dalam hal itu tetap
saja itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menangkis bahwa Boediono itu
bukan neolib.
Keberadaan bank syariah mencerminkan bahwa Indonesia tidak menerapkan
ekonomi neolib?
Perbankan syariah adalah salah satu instrument dari sistem moneter yang
berlaku di Indonesia yang menerapkan sistem ekonomi neolib ini. Sehingga
keberadaan perbankan syariah itu tidak mempengaruhi apa-apa terhadap
kebijakan moneter secara umum.
Apalagi, volume bisnis bank syariah di Indonesia itu masih di bawah 3%. Jadi
masih sangat kecil bila dibanding dengan skala usaha perbankan konvensional
yang 97%. Sehingga perbankan syariah itu tidak mempengaruhi postur terhadap
perbankan Indonesia.
Nah, itu kalau mau dibilang Boediono berperan besara dalam keberadaan
perbankan syariah. Tapi kan faktanya tidak begitu. Sesungguhnya orang-orang
yang berperan besar adalah inisiator dan pelaku perbankan syariah sendiri
yang menginginkan UU semacam itu, yakni Asosiasi Bank Syariah Indonesia atau
Asbsindo.
Dalam hal ini Boediono berposisi sebagai orang yang mau tidak mau harus
meng-endors atau mengesahkannya. Karena kalau Boediono menolak itu akan
menjadi sesuatu yang sangat tidak mengenakan posisinya. Siapapun yang ada di
posisinya akan melakukan hal yang sama. Lantaran perbankan syariah sudah
menjadi fakta bukan baru gagasan saja. Dan fakta itu makin lama makin
membesar dan membutuhkan UU terpisah dari UU perbankan konvensional.
Jadi saya melihat tidak ada yang istimewa dari keberadaan Boediono terkait
hal ini. Kecuali kalau Boediono itu dari dulu dikenal sebagai orang yang
mengagas bank syariah. Itu baru melawan arus. Nah baru bolehlah diacungi
jempol! Faktanyakan tidak.
Bukankah ia juga mengatakan perbankan syariah itu bagus. Apakah ungkapan itu
basa-basi?
Mungkin. Tapi dia juga paham dong, secara intelektual bahwa bank syariah itu
memang bagus. Jadi siapa pun yang menyatakan bank syariah itu bagus
sebenarnya itu pernyataan yang biasa. Tidak ada yang istimewa. Karena memang
secara intelektual, secara empirik itu memang bagus!
Justru kalau ada orang yang mengatakan bank syariah jelek itu bodoh. Kalau
ekonom ya ekonom bodoh. Keblinger! Sebenarnya yang aneh itu ketika Boediono
mengatakan bank syariah itu bagus. Itu dijadikan kredit point buat dia.
Padahal itu kan sangat biasa-biasa saja.
Baru sekarang-sekarang ini, saat menjelang pilpres 2009, Boediono dikatakan
sebagai orang yang paling berjasa dalam menelurkan UU perbankan syariah.
Sebelumnya dia tidak pernah sama sekali dikait-kaitkan dengan perbankan
syariah atau satu gagasan ekonomi Islam lainnya. Hatta di UGM sekalipun ia
tidak pernah mengajukan gagasan itu.
Lain halnya kalau Boediono mengatakan, "bank syariah itu bagus harus
dikembangkan. Bank konvensional jelek harus ditutup". Nah itu baru kredit
poin buat Boediono. Kalau Boediono berani ngomong begitu baru itu namanya
berita. Saya yakin dia tidak akan berani ngomong begitu! Karena pernyataan
itu hanya akan muncul dari seorang ekonom yang bermotif keimanan bukan
neolib.
Jadi motif dalam membangun perbankan syariah itu…?
Ya..motif ya… setidaknya ada dua.mengapa perbankan syariah itu dibangun.
Pertama, ada yang mendirikan bank syariah karena motif keyakinan, keimanan
bahwa bank syariah ini solusi yang terbaik dan islami yang menjauhkan unsur
riba dalam setiap transaksinya. Alasannya, dalam Islam riba atau bunga bank
itu haram dan harus dijauhi. Nah, sehingga orang-orang seperti ini lebih
memilih bank syariah dan secara tegas menolak bank konvensional.
Kedua, ya motif bisnis an sich. Dalam kacamata ini memang bank syariah tidak
terlalu beresiko bahkan dalam hitung-hitungan mereka bank syariah memilik
marjin keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan skema bank
konvensional. Sehingga bank konvensional pun membuka unit syariah.
Dengan alasan yang sama pula hal ini terjadi bukan hanya di Indonesia, yang
mayoritas penduduknya Muslim. Di negara-negara lain, seperti Inggris,
Singapura, Australia, Amerika juga bank konvensional membuka cabang syariah.
Bahkan City Bank, itu bank konvensional pertama yang membuka unit syariah.
Sekarang ini kan HSBC pun membuka unit syariah.
Agak sedikit menyimpang, namun menarik untuk diungkap. Dalam dialog di
Bandung baru-baru ini, Boediono mengatakan butuh mata uang internasional
yang baru pengganti dollar karena dollar didominasi oleh satu negara. Tapi
ketika disodorkan bahwa uang pengganti itu emas ia menolak juga, dengan
alasan mata uang emas itu tetap menimbulkan ketergantungan karena hanya
negara-negara tertentu saja yang mempunyai emas.
Apa benar seperti itu, jadi di mana letak keadilan mata uang emas itu,
mengingat Islam mewajibkan mata uang itu haruslah emas atau berbasis emas?
Justru kalau tujuannya agar menjadi mata uang internasional emaslah yang
paling unggul. Karena ketika emas dijadikan mata uang dengan sendirinya uang
emas tersebut menjadi mata uang internasional. Sama sekali tanpa memerlukan
adanya political agreement. Lihat mata uang Euro, sekedar untuk berlaku di
Eropa saja kan harus ada dulu kesepakatan politik oleh setiap negara yang
tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa untuk menjadikan itu sebagai mata
uang bersama.
Emas tidak perlu begitu. Jadi siapa saja bisa menggunakan mata uang emas,
bahkan tidak memerlukan kesepakatan politik internasional sekalipun. Karena
emas ini langsung bisa digunakan di sembarang tempat di berbagai negara.
Terus bila dikatakan bahwa negara-negara tertentu saja yang menghasilkan
emas atau mempunyai cadangan emas yang besar yang diuntungkan. Ya, memang
seperti komoditas lainnya, seperti minyak misalnya. Kan negara yang
mempunyai minyak terbesar memiliki keuntungan yang lebih besar. Jadi ada
masalah apa? Yang memiliki minyak yang lebih banyak akan diuntungkan, yang
memiliki emas lebih banyak akan lebih diuntungkan. Ya, itu hal yang wajar
saja. Tidak menggunakan mata uang emas pun. Menggunakan dollar misalnya,
tetap saja yang memiliki emas terbanyak akan lebih diuntungkan.
Benarkah bila penemuan emas besar-besaran di sebuah negara akan terjadi
inflasi secara global?
Ooh, insya Allah, itu tidak akan mungkin terjadi. Kenapa? Karena emas itu
komoditas. Emas tidak akan mengalir dengan sendirinya karena emas akan
mengalir bila dipertukarkan dengan barang dan jasa. Bila emas itu ditemukan
oleh sebuah negara tentu saja emas tersebut akan diamankan oleh negara
tersebut.
Beda dengan mata uang kertas. Bila di-back-up atau disandarkan pada emas
berarti mata uang emas. Mata uang kertas kan dicetak tanpa disandarkan pada
apa-apa. Itulah yang menyebabkan inflasi secara global seperti yang selalu
terjadi pada mata uang kertas yang berlaku saat ini. Uang terus dicetak,
harga barang terus naik. Kan begitu.
Jadi kalau emas itu dibelikan barang ya itu sebenarnya pertukaran barang
dengan barang. Jika harga barang naik, harga emas pun ikut naik. Jadi emas
relatif jauh lebih stabil dibanding mata uang kertas, saham, atau lainnya.
Dollar bisa tidak ada artinya apa-apa ketika Amerika bangkrut. Saham juga
demikian, bila perusahaan yang mengeluarkan saham itu bangkrut.
Hal itu tidak berlaku bagi emas. Satu contoh sederhana saja. Seribu empat
ratus tahun lalu. pada zaman Nabi Muhammad SAW, harga seekor kambing gemuk
adalah 1 koin dinar, uang yang terbuat dari emas seberat 4,25 gram emas.
Nah, zaman sekarang juga sama! Kambing yang bagus dan gemuk harganya sekitar
1,5 juta rupiah.
Coba tanya ke Antam atau penjual dinar, berapa harga 1 dinar sekarang,
jawabannya mesti 1,5 juta rupiah. Padahal Khilafah Islam sudah lebih dari 80
tahun runtuh, tapi dinarnya tetap stabilkan? Coba kalau pakai uang kertas.
Pasti harus dikilo dulu baru laku. Seperti halnya menimbang koran bekas.
Jadi kalau tidak emas mau mata uang apa yang ingin diajukan sebagai alat
tukar yang berlaku secara internasional?
Kesimpulannya?
Jadi neolib itu tidak bisa dilihat dari kata-kata tetapi dapat dilihat dari
rekam jejak. Artinya, neolib tidaknya Boediono itu tidak bisa diukur dengan
setuju atau tidaknya dia dengan berdirinya perbankan syariah. Tapi neolib
tidaknya dia itu bisa dilihat dari apakah dia menganut Mazhab Konsensus
Washington atau tidak. Konsensus Washington itu kan intinya pencabutan
subsidi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan. Boediono kan kental
sekali dengan ketiga hal itu.[]
--
FARIZAL ALBONCELLI
Blog:
http://farizal- alboncelli. blogspot. com/FS:
farizal.info@ yahoo.commobile: 021 950 42948
http://zanikhan.multiply.com/profile
Tidak ada komentar:
Posting Komentar