Zanikhan Sadeli has posted a new blog entry.Manage alerts settings |
Polisi mungkin lembaga yang paling sedikit menerima pujian publik. Masyarakat sampai hari ini masih sangat pelit untuk mengacungkan jempol kepada kerja kepolisian. Apakah ini berarti kepolisian sangat buruk? Tidak juga. Polisi memang telah dan sedang berubah. Tetapi perubahan itu seperti siput yang merayap, tidak sekencang burung yang terbang. Mengapa publik begitu kikir memuji, tapi amat gampang mencela polisi? Karena ekspektasi yang begitu tinggi terhadap peran polisi itu sendiri. Kepolisian Republik Indonesia yang hari ini berulang tahun ke-63, mewarisi sebuah beban yang amat berat. Reformasi telah memaksanya tanpa persiapan matang untuk berubah menjadi sipil bersenjata dari militer berbedil. Ini adalah akibat dari sistem lama yang menggabungkan kepolisian dalam wadah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam sistem lama polisi adalah anak tiri dari ABRI. Ketika reformasi tiba dan demokrasi bergelora, polisi tanpa persiapan matang harus mengambil alih peran keamanan yang selama Orde Baru adalah kewenangan militer. Inilah biang utama mengapa publik pelit mengapresiasi polisi. Karena demokrasi dan kebebasan membuka ekspektasi publik tanpa kendali, sementara polisi terkendala banyak persoalan internal. Tidak berimbang antara harapan masyarakat tentang polisi yang ideal dan kemampuan faktual polisi memenuhi harapan itu. Untuk mengubah persepsi publik terhadap polisi yang amat buruk di masa lalu, diperlukan perubahan-perubahan luar biasa dan konsisten pada kinerja polisi. Sebuah krisis kepercayaan yang amat besar tidak bisa direbut kembali dengan prestasi yang biasa-biasa saja. Harus ada kinerja luar biasa yang mampu mengubah persepsi dan preferensi publik. Sejauh ini, perubahan yang mulai kentara adalah keinginan kuat polisi untuk menjadi pelayan publik yang efektif. Ada pusat-pusat pengaduan masyarakat yang menyebabkan setiap warga bisa datang mengadukan persoalannya. Pelayanan SIM, STNK, dan pajak kendaraan sudah ditempuh melalui bank dan pelayanan keliling. Sosok sipil yang melayani mulai terlihat. Akan tetapi, yang belum berubah banyak adalah dalam wilayah polisi sebagai penegak hukum. Belum ada rasa nyaman dan kepastian publik yang berurusan dengan polisi dalam soal hukum. Berurusan dengan polisi dianggap menambah masalah daripada menyelesaikan perkara. Skeptisisme terhadap polisi melalui sindiran lama masih bergema. Yaitu, melapor kepada polisi tentang kambing yang dicuri kita harus menjual sapi. Kambing tidak ditemukan, sapi pun melayang. Ini semua adalah kompleksitas polisi terhadap uang yang kemudian dipopulerkan melalui istilah menyindir delapan enam (86). Demi delapan enam polisi bisa menggadai peraturan bahkan harga diri. Preman-preman yang bermunculan di jalan dalam berbagai bentuk ternyata menjadi bagian dari kehausan polisi terhadap delapan enam. Ini semua kita paparkan, tentu, tidak dalam rangka kebencian terhadap polisi. Tetapi justru merupakan kritik karena kita sesungguhnya sangat cinta pada mereka. Polisi, apa pun reputasinya, adalah vital bagi penegakan keamanan. Bayangkan sebuah negara hidup tanpa polisi. Mana tahan.... Romantisme masyarakat dengan polisi sesungguhnya terdefinisi dengan baik dalam judul lagu Benci tapi Rindu. Ada polisi dibenci dan dicaci, tetapi tidak ada polisi mana tahan.... Inilah kritik sekaligus ekspresi kecintaan kita terhadap polisi. Viva Kepolisian Republik Indonesia. Copyright 2009 Multiply Inc, 6001 Park of Commerce, Boca Raton, FL 33487, USA Stop e-mails, view our privacy policy, or report abuse: click here |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar